Hikmah Isra’ Mi'raj

Isra merupakan perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekah ke Mesjidil Aqsha di Jerusalem. Kemudian bermi'raj menuju langit ketujuh dan Sidratulmuntaha, arasy (takhta Tuhan), dan kursi (singgasana Tuhan), hingga menerima wahyu di hadirat Allah SWT Perjalanan ini mengandung perintah mendirlkan shalat lima waktu sehari dan semalam. Isra mi'raj terjadi pada 27 Rajab, setahun sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah.

Peristiwa ini juga menunjukkan betapa pentingnya peranan masjid bagi kehidupan umat Islam. Ia merupakan tem pat berangkat sekaligus tempat Iepas Iandas bagl kebangkitah umat. Di masjid itulah umat Islam memulai segala aktivitasnya sekaligus menata kehidupan, seperti dilakukan dengan cemerlang oleh Rasulullah. "Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada-Nya dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selaln kepada Allah." (QS 9: 18).

Sedangkan shalat yang merupakan perintah Iangsung dari Allah kepada Nabi ialah suatu bentuk komunikasi antara manusia dan Tuhan secara beriman serta meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan demikian, seperti dituturkan oleh sejarawan Islam Mesir, Mohammad Husain Haekal: shalat bukan sekadar rukuk dan sujud, tanpa mengisi jiwa dan hati sanubari dengan iman. Jadi, shalat merupakan suatu ibadah yang harus dilakukan dengan ikhlas, demi Tuhan Cahaya Langit dan Bumi.

Orang mukmin yang beriman ialah yang menghadapkan seluruh kalbunya kepada Allah ketika ia sedang shalat, disaksikan oleh rasa takwa kepada-Nya, serta mencari pertolongan Allah dalam menunaikan kewajiban hidupnya.

Ia mencari petunjuk, memohonkan taufik Allah dalam memahami rahasia dan hukum alam ini. Orang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah di tengah ia shalat selalu akan merasa, dirinya adalah sesuatu yang kecil berhadapan dengan kebesaran Allah Yang Maha Agung.


Shalat juga merupakan salah satu bentuk kesamaan manusia di hadapan Allah, tanpa membedakan status social mereka. Kesamaan di hadapan Tuhan ini, akan menuju pada persaudaraan yang sebenarnya-benarnya. Sebab, semua orang dapat merasakan bahwa mereka sebenarnya bersaudara dalam beribadah kepada Allah dan hanya kepada-Nya mereka beribadah.

Persaudaraan demikian ini didasarkan kepada saling penghargaan yang sehat, renungan serta pandangan yang bebas seperti dianjurkan Alquran. Adakah kebebasan, persaudaraan, dan persamaan yang lebih besar selain umat ini di hadapan Allah? Semua menundukkan kepala kepada-Nya, bertakbir, rukuk, dan bersujud. Tiada perbedaan antara satu dan yang lain semua mengharapkan pengampunan, bertobat, dan mengharapkan pertolongan.

Tak adaperantara mereka ke Tu han kecuali amalnya yang saleh, dan menjauhkan diri dari segala bentuk kejahatan. Dalam situasi sekarang ini, persaudaraan yang demikian dapat membersihkan hati dari segala noda materi, dan menjamin kebahagiaan manusia agar dalam hidup ini kita tidak tergelincir ke jurang dosa. Begitu pentingnya nilai shalat hingga ia dapat mencegah manusia dari perilaku l<eji dan munkar, seperti difirmankanAllah.

“Sembahlah Allah, seolah-olah engaku melihatNya. Kalau engkau tidak bisa, (ingatlah) bahwa Allah melihat engkau. Hitunglah dlrimu termasuk orang yang hampir meninggal dunla dan jagalah dirlmu dari orang yang teraniaya, karena sesungguhnya doanya itu diperkenankan Allah," (HR Abu Na'im dari Zald bin Arkam).

Dalam Islam, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad dl atas, kita diperlntahkan agar dalam setiap denyut kehidupan, klta merasakan kehadiran Allah SWT, yang selalu mengamati dan mengawasi tingkah laku dan segala perbuatan kita. Dan, ,inilah yang oleh Nabi disebut bagian dari keimanan seseorang terhadap Tuhannya.

Kesadaran itulah yang membuat Nabi Yusuf terhindar dari godaan Zulaeha. Ketika sedang -menggoda Nabi Yusuf a.s., Zulaeha menutupkan kaln ke atas wajah berhala yang biasa disembahnya. "Wahai Zulaeha, engaku malu di hadapan seonggok batu, maka tidakkah aku mesti malu di hadapan Dia yang menclptakan tujuh lapis dan bumi," kata Nabi Yusuf.

Dengan merasakan kehadiran-Nya setiap saat, kita akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama. Seorang pejabat, apa pun jabatannya, saat dllantik dan dlsumpah atas nama Allah, dia harus menyadari bahwa Allah bukan saja menyaksikan apa yang diucapkannya, tapi Dia pun akan meminta pertanggungjawaban atasjanjl yang diucapkan.

Menurut Islam, menepati janji mefupakan hal yang sangat prinsip. Tidak terhitung banyaknya ayat Al-Qur'an maupun hadist Nabi yang mewajibkan kita untuk menepatl janji. Bahkan Nabi seéara tegas mengkategorikan orang yangmengabaikan janji sebagai orang yang memiliki tanda-tanda kemunafikan. Nabi Muhammad sendiri secara cemerlang telah memegang teguh prinsip ini selama hidupnya. Tidak heran hingga beliau dijuluki Al-Amin (orang yang dipercaya). Bahkan gelar ini telah beliau sandang sejak masa sebelum Islam. Bagaimana dengan kita? Apakah akan terus melanggar janji kita kepada Allah SWT dan tujuan penciptaan kita yaitu untuk beribadah kepada-Nya?

Pernah suatu ketika, Abu Sofyan (sebelum masuk Islam) mengeluhkan tentang ajaran Nabi kepada Heracllus, yang menurutnya_telah membuat perpecahan di kalangan bangsa Quraisy. Petinggi kekaisaran Romawi itu bertanya kepadanya, "Apakah Muhammad pernah berbohong?”

Abu Sofyan dengan cepat menjawab, "Tak pernah, karena ia orangyang memegang amanat." Lalu Heraclius pun berkata, "Kalau terhadap masyarakatnya saja ia tidak pernah berbohong, apalagi terhadap Tuhannya."

Merasa sangat berat memegang amanat, Umar bin Abdul Aziz beberapa saat setelah dilantik menjadil khalifah berkata, "Setiap penguasa akan ditanyakan apa yang telah diperbuatnya untuk rakyatanya di hari kebangkitan. Karena itu, mereka tidak boleh menghianati kepercayaan rakyat.” Bagi orang yang beriman, godaan tak akan pernah menggoyahkan mereka. Karena mereka yang beriman akan selalu dllindungi oleh-Nya dalam segala keadaan. Hati mereka tenang, jernih, dan kuat menghadapi gejolak bagaimana pun. (Alwi Shahab)

0 komentar:

Posting Komentar