Puluhan
satuan polisi pamong praja, petugas keamanan berseragam milik Pemkot
Serang, Banten, minggu lalu menggerebek rumah makan yang buka siang
hari. Mereka diminta menutup rumah makan, buat yang menolak terancam
dicabut izin usahanya.
Seorang pelayan yang restorannya dipaksa
tutup, mengaku setiap puasa Ramadan biasanya selalu buka. Maklum, di
kawasan Kaligadu, pelanggan tak pernah sepi karena banyak juga warga
non-muslim. “Untuk menghargai warga muslim yang sedang beribadah, kami
menggunakan penutup. Tapi kalau ada warga muslim makan ke sini, kami
tidak enak menolaknya,” lanjut pelayan di sana.
Peristiwa serupa
juga terjadi di kota lain. Di Sumatera Barat, Cilegon, Banten dan
Bandung banyak pengusaha makanan menerima ancaman senada oleh organisasi
massa tertentu. Menurut K.H. Sukana, Pimpinan Pondok Pesantren Nurul
Iksan Al Mubarokkah (Pondok Pesantren Eksekutif) Bandung, Jawa Barat,
sikap memaksa seperti itu kini mulai mengarah ke sikap anarkis. “Ini
berpotensi merusak citra masayarakat muslim lantaran dianggap tidak
mampu menahan diri untuk bertoleransi terhadap mereka yang berbeda
agama,” tegasnya.
“Saya pribadi tidak setuju tindakan
sweeping,
apalagi dilakukan secara anarkis. Dalam arti jangan menzalimi atau
merugikan dunia usaha meski dalam pelaksanaannya telah melanggar aturan
pemerintah,” jelas Sukana, yang juga Dosen Pendidikan Agama Islam
Institut Manajemen Telkom di Bandung.
Aksi anarkisme hanya akan
merusak citra umat muslim, dan bisa menimbulkan kesan masyarakat Muslim
yang tidak bisa menahan diri dan tak bertoleransi. “Padahal, Islam
adalah agama perdamaian.” tutur Sukana.
“Arti Islam itu sendiri
adalah untuk keselamatan dirinya, menyelamatkan orang lain, tunduk,
patuh dan berserah diri. Jadi arti islam harus dimaknai dan
diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat serta berbangsa,”
tambahnya lagi.
ANTARA/Syaiful ArifSelain
menghimbau agar umat Islam bertoleransi pada mereka yang tidak
berpuasa, Sukana juga mengingatkan pemerintah agar konsisten dalam
penerapan aturan. Jika memang melarang tempat hiburan buka siang hari
misalnya, aturan itu harus ditegakkan. Bila peraturannya jelas, maka
takkan menimbulkan keresahan di masyarakat.
Bukan mustahil, lanjutnya lagi, upaya menutup restoran secara paksa atau
sweeping terjadi
karena kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang hanya membuat
aturan sebatas jam operasional tempat hiburan. Sebab, pelaksanaannya di
lapangan tidak dijalankan secara konsisten.
“Akibatnya timbul
ketidakpercayaan, kemudian ada kelompok masyarakat yang beraksi
sendiri,” ujarnya. Namun Sukana menegaskan, dia tetap tidak mendukung
sikap anarkis.
Menurut dia, yang seharusnya terjadi adalah,
pemerintah menegakkan aturan dan masyarakat maupun organisasi massa
sebatas pendorong agar menerapkan aturan yang sudah dibuat. Sebaiknya
rangkul masyarakat yang ingin berkontribusi terhadap penegakan aturan
selama Ramadan, sehingga semuanya terkontrol.
Secara terpisah,
Pendeta Mori Sihombing, Praeses Distrik VIII HKBP mengingatkan bahwa
masyarakat Indonesia sangat heterogen. Karena itu, dia mengharapkan agar
ada saling menghargai serta toleransi antarumat beragama.
Termasuk
pada Ramadan ini. Dia menyarankan agar masyarakat non muslim pun
menghargai hak-hak masyarakat muslim untuk berpuasa. “Hendaknya
toleransi ditunjukkan dengan tidak makan minum di tempat umum. Ketika
mereka bertandang ke tempat kita, jangan suguhkan makanan dan minuman
karena mereka sedang menjalankan ibadah puasa,” ujarnya lagi.
Selain
itu, menurut Mori dalam melakukan komunikasi di mana pun janganlah
mengeluarkan perkataan-perkataan yang menyinggung perasaan. “Kita harus
ikut menjaga hati saudara-saudara kita untuk bisa menjalankan puasa
dengan tenang. Jangan sampai kita melukai hati orang,” katanya.
Sejalan
dengan itu, Pendeta Mori juga mengharapkan agar umat muslim yang sedang
melaksanakan ibadah puasa bisa menghargai pemeluk agama lain. “Ini
diartikan dengan tidak memaksa orang lain untuk ikut tidak makan dan
minum, hanya karena mereka sedang berpuasa,” jelasnya.
Karena
itu, terkait dengan upaya penutupan paksa restoran misalnya, dia minta
agar pemerintah melindungi hak-hak masyarakat termasuk pengusaha. “Harus
dilihat pula nasib para pegawainya. Dari mana mereka mendapat gaji bila
usahanya ditutup.” tambahnya.
Jadi pada intinya, sikap saling
menghargai sangat diperlukan dalam bersosialisasi di lingkungan
kehidupan masyarakat yang heterogen ini. Di antaranya dengan tidak
menghentikan usaha masyarakat seperti penutupan paksa tempat makan.
Sebab masih banyak masyarakat lain yang membutuhkan tempat usaha
tersebut.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya Kapolda Metro Jaya
Irjen Untung S. Rajab telah menginstruksikan jajarannya untuk melakukan
pengawasan dan pemantauan terhadap tempat hiburan yang melanggar jam
operasional. Hal itu dilakukan juga untuk menghindari aksi
sweeping yang dilakukan kelompok masyarakat yang sebenarnya tidak perlu, karena sudah dipantau oleh polisi.
Berdasarkan
tulisan di atas, apakah Anda setuju dengan tindakan sweeping dan/atau
penutupan paksa rumah makan selama bulan Ramadan dengan alasan, "mereka
tidak menghargai yang berpuasa?" Ikuti poll kami di bawah tulisan ini.