FENOMENA RITUAL NAIK HAJI GUNUNG BAWAKARAENG


Gunung Bawakaraeng sekian lama telah menyimpan sebuah fenomena yang sudah terjadi sejak lama. Didalamnya terbenam kisah-kisah mistik tentang kebesaran para raja-raja dan panglimanya yg diyakini penduduk sekitar masih menghuni setiap wilayah tertentu di Gunung ini. Dibeberapa tempat terdapat susunan batuan gunung besar yang sepertinya sengaja ditata dan diyakini penduduk setempat adalah tempat pemakaman kuno. Orang-orang yang mengenal legenda Gunung Bawakaraeng secara turun temurun sangat menghormati keberadaan mistiknya sehingga seringkali ditemukan adanya ritual-ritual khusus untuk tetap menjaga tradisi leluhurnya.

di balik keindahan puncak Gunung Bawakaraeng tersimpan banyak cerita mistik. Konon apabila bumi yang bulat ini diratakan maka gunung dengan ketinggian 2.830 dari permukaan laut ini dipercaya sebagai pusat bumi. Gunung Bawakaraeng dianggap memiliki energi yang sangat besar dan merupakan tempat pilihan para wali untuk mempermantap ilmunya. Secara harfiah Bawakaraeng artinya Mulut (bawa) Sang Pencipta (karaeng), dan nama ini pula yang menyuburkan berbagai mistik serta kepercayaan.

Tak ada sebab yang pasti mengapa gunung ini diberi nama seperti itu, hanya dari cerita penduduk yang diketahui bahwa pada zaman dahulu ketika masa kerajaan Gowa masih berjaya ada seorang tokoh agama yang pergi haji ke tanah suci melalui puncak Bawa Karaeng dibantu malaikat. Ada cerita versi lain yang mengatakan pada masa lampau ada seseorang yang sangat ingin naik haji, lalu dia mendapatkan bisikan untuk mendaki puncak Bawakaraeng sebagai ganti hajinya. Wallahu a’lam mana cerita yang benar, namun yang pasti dari keyakinan itulah muncul paham yang mentradisi disebagian masyarakat Sulawesi Selatan dan sampai saat ini masih banyak orang yang ingin pergi haji diatas puncak gunung Bawakaraeng dan biasanya dilakukan bertepatan pada bulan Haji.

Fenomena Ritual ini yang menjadi turun temurun kemudian  dikenal dengan nama RITUAL HAJI BAWAKARAENG dan dipandang oleh masyarakat awam adalah sebuah ritual tahunan seiring dengan hari besar Idul Adha atau ketika menjelang puasa Ramadhan. Pelaksanaan tradisi ritual ini masih terjaga dan tetap dilakukan secara berkala oleh masyarakat sulawesi selatan yang percaya dengan keyakinan ini. Proses ritualnya tidak dilakukan secara serempak seperti proses Haji pada umumnya tapi tergantung dari proses yang diyakini oleh masing-masing leluhurnya. Saat waktu ritual itu tiba, rombongan itu ditemukan terpisah dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari orang tua, ibu-ibu bahkan anak kecil. Selain penduduk sekitar di Kabupaten Gowa, adapula jemaah haji yang berasal dari Makassar, Maros, Pangkep, Sengkang bahkan dari Propinsi Sulawesi Barat, Mamuju.

Uniknya, ritual Bawakaraeng ini dilaksanakan sebenarnya tidak untuk menjadi “haji”, tapi yang paling utama adalah untuk memohon keselamatan, rezeki dan juga permintaan khusus lainnya kepada yang maha kuasa. Ritual ini, dalam ajaran agama Islam melarang kegiatan persembahan dan pemujaan selain aturan shalat dan bentuk ibadah lainnya yang telah ditetapkan hukumnya. Para penganut ritual di Bawakaraeng kadang membawa sesuatu yang dipersiapkan sesuai dengan permohonan doa masing-masing. Ada yang mempersembahkan songkolo’ (beras ketan), lontong, telur, buah-buahan, daging ayam bahkan ada yang membawa daging kambing. Pelaksanaan ibadah ini sendiri bisa dipandang sebagai wujud pencampuradukan kepercayaan lama, ritual mistik, dan ajaran Islam, yang memang masih ditemukan di kelompok masyarakat tertentu di berbagai daerah di Indonesia.

rombongan yang sering melakukan ritual ini dari berbagai umur , dari anak kecil sampai orang tua yang sudah renta. Melihat dari fasilitas yang mereka gunakan jelas sangat beresiko untuk melakukan sebuah perjalanan pendakian. Perlengkapan mereka seadanya saja bahkan beberapa orang tidak menggunakan alas kaki. Tubuh mereka hanya dibungkus dengan kain sarung yang tipis dimana pekatnya udara dingin gunung dimusim pancaroba saat itu sangat menusuk tulang. Pemandangan yang memprihatinkan ketika dalam kelompok itu ada seorang nenek tua yang tidak mampu berbuat apa-apa lagi, harus digendong menuruni lembah-lembah yang curam. Begitu pentingnya ritual yang mereka yakini itu sehingga mereka begitu gigih menantang kondisi alam pegunungan dengan perlengkapan serta fasilitas yang seadanya. Tidak heran jika gunung Bawakaraeng sering menelan korban pada musim itu.

Pemerintah Sulawesi selatan telah mengeluarkan larangan keras bagi penduduk yang akan melakukan ritual ini mengingat setiap tahunnya terjadi kecelakaan dan banyak memakan korban. Semua kasus yang terjadi pada umumnya karena kedinginan atau terjatuh kedalam jurang diakibatkan tidak memadainya fasilitas dan sarana yang mereka gunakan. Untuk mengantisipasi kejadian tersebut pemerintah Sulawesi Selatan bekerjasama dengan aparat segera melakukan blokade penuh untuk menjaga semua jalan masuk kedalam wilayah pegunungan yang akan dilalui para penganut ritual itu. Meskipun begitu, masih saja ada jalan bagi para pendatang itu untuk tetap menjalankan ritualnya dengan melalui jalan-jalan yang tentunya beresiko tinggi. Dan sudah pasti akan terjadi lagi, korban kembali berjatuhan dengan kasus yang sama.

Penjagaan area Gunung Bawakaraeng diperketat menjelang perayaan hari besar Islam, pemerintah Sulawesi Selatan melakukan koordinasi untuk meningkatkan penjagaan disemua wilayah pegunungan Bawakaraeng dengan mengerahkan pasukan brimob. Hal itu dilakukan karena kondisi cuaca Pegunungan Bawakaraeng terkadang “ekstrem”, dan serbuan para pendatang untuk ritual gunung Bawakaraeng tidak mengenal kondisi tersebut. Seringkali, para pendatang itu cukup pintar menghindari penjagaan yang ketat dan menemukan jalan lain untuk masuk ke area pegunungan. Apabila itu terjadi maka resiko yang harus ditempuh para penganut ritual itu akan semakin tinggi karena mereka tidak melalui jalur pendakian yang normal.

Kontradiksi memang dimana pemerintah Sulawesi Selatan harus menjaga keamanan penduduk dengan membatasi bahkan sebisa mungkin menghentikan pelaksanaan ritual ini namun disisi lain ritual ini juga merupakan refleksi sejarah tradisi dan budaya yang juga seharusnya dijaga. Alasan yang paling logis untuk menetralisir kondisi ini adalah ketika keputusan untuk menghentikan ritual Bawakaraeng harus didasari dari pertimbangan agama.  Adalah sebuah pilihan, apakah melestarikan warisan tradisi dan budaya leluhur harus mengorbankan pemahaman agama Islam ataukah tetap melestarikan budaya itu dengan mengkombinasikan pemahaman Islam dengan pemahaman agama samawi? Tak akan pernah terjawab jika harus mencari solusinya lewat logika.

0 komentar:

Posting Komentar