Kota Makassar dan Alphard Birunya ( Pete - Pete red.)
Ternyata Makassar memiliki keunikan tersendiri mengenai angkutan umumnya,terkhusus angkotan perkotaan. Di kota ini ada yang namanya pete-pete
(keempat huruf e dibaca seperti huruf e dalam kata rame). sejenis mobil
colt atau metromini di Jakarta. Warna pete-pete kebanyakan biru atau
merah. Uniknya, kendaraan ini beroperasi dari pagi sampai jam 12 malam.
Dan dari pengamatan saya jumlahnya sangat banyak dengan rute yang hampir
menjangkau seluruh kawasan Makassar. Saking banyaknya, hampir setiap
saya banyak, pete-pete selalu longgar, tidak penuh. Tiap satu menit selalu
ada yang lewat. Pete-pete tidak berkondektur hanya sopir saja. Setiap
kali menumpang, jauh dekatdipungut 3000 rupiah . Mungkin hal inilah
yang membuat teman-teman enumerator di penelitian kami tidak takut
pulang malam. Perlu diketahui juga, di kota Makassar tidak ada bus
berkapasitas besar.
Keberadaan pete-pete di Makassar, tentu membawa dampak yang luar biasa terhadap mobilitas warganya. Jangkauan yang luas memudahkan orang untuk mencapai tempat-tempat yang jauh tanpa susah payah mencari kendaraan. Makassar memiliki luas wilayah yang besar. Dan tiap sudutnya hampir dijangkau oleh pete-pete. Kita tentu masih ingat, bahwa faktor yang cenderung membuat harga barang di suatu daerah lebih tinggi dibandingkan daerah lain adalah soal biaya trasnportasi. Semakin jauh jaraknya, semakin rusak jalannya, semakin tidak ada alat transportasinya, semakin mahal pula harga barang-barang yang dijual.
Entah ada korelasi atau tidak dengan keberadaan pete-pete, beberapa mall dan toko di Makassar tutup pukul 22.00. Pengelola mall mungkin tidak takut kehilangan pembeli, karena di malam hari tetap ada alat transportasi yang bisa diandalkan. Kondisi itu berbeda dengan transportasi di Jogja, yang umumnya sampai pukul 19.00, walaupun ada trans Jogja yang melayani hingga pukul 22.00. Di malam hari, masyarakat Jogja lebih memilih kendaraan pribadi. Di siang hari pun sebenarnya juga begitu. Hal tersebut dikarenakan, bus atau angkot di kota pelajar tersebut belum banyak menjangkau tempat-tempat terpencil, seperti yang dilakukan pete-pete.
Kita kembali ke pembahasan pete-pete. Saya heran dengan jumlah pete-pete yang luar biasa banyaknya. Saya menyadari besarnya jumlah pete-pete, saat berkunjung ke Universitas Hassanudin, yang berjarak 45 menit dari basecamp kami (di kecamatan Mariso dekat dengan Losari). Sepanjang jalan poros saya melihat pete-pete saling bersaing mencari penumpang. Jumlahnya luar biasa. Muncul pertanyaan dalam hati saya, kok bisa sebanyak itu? Apakah izin trayeknya memang sebanyak itu? Kadang-kadang kami agak sulit berkendara di jalan poros, karena tiba-tiba saja ada pete-pete yang berhenti sembarangan tanpa memberikan tanda. Saat begitu, terkadang lalu lintas menjadi sedikit macet.
Pete-pete memang fenomena menarik di Makassar, yang tentu menyerap banyak tenaga kerja bagi masyarakat. Saya yakin, bila pete-pete dihilangkan, keadaan Makassar akan kolaps. Karena pete-pete, memang salah satu penyangga kehidupan di daerah ini. Silahkan datang ke Makassar dan cobalah pete-pete.
Keberadaan pete-pete di Makassar, tentu membawa dampak yang luar biasa terhadap mobilitas warganya. Jangkauan yang luas memudahkan orang untuk mencapai tempat-tempat yang jauh tanpa susah payah mencari kendaraan. Makassar memiliki luas wilayah yang besar. Dan tiap sudutnya hampir dijangkau oleh pete-pete. Kita tentu masih ingat, bahwa faktor yang cenderung membuat harga barang di suatu daerah lebih tinggi dibandingkan daerah lain adalah soal biaya trasnportasi. Semakin jauh jaraknya, semakin rusak jalannya, semakin tidak ada alat transportasinya, semakin mahal pula harga barang-barang yang dijual.
Entah ada korelasi atau tidak dengan keberadaan pete-pete, beberapa mall dan toko di Makassar tutup pukul 22.00. Pengelola mall mungkin tidak takut kehilangan pembeli, karena di malam hari tetap ada alat transportasi yang bisa diandalkan. Kondisi itu berbeda dengan transportasi di Jogja, yang umumnya sampai pukul 19.00, walaupun ada trans Jogja yang melayani hingga pukul 22.00. Di malam hari, masyarakat Jogja lebih memilih kendaraan pribadi. Di siang hari pun sebenarnya juga begitu. Hal tersebut dikarenakan, bus atau angkot di kota pelajar tersebut belum banyak menjangkau tempat-tempat terpencil, seperti yang dilakukan pete-pete.
Kita kembali ke pembahasan pete-pete. Saya heran dengan jumlah pete-pete yang luar biasa banyaknya. Saya menyadari besarnya jumlah pete-pete, saat berkunjung ke Universitas Hassanudin, yang berjarak 45 menit dari basecamp kami (di kecamatan Mariso dekat dengan Losari). Sepanjang jalan poros saya melihat pete-pete saling bersaing mencari penumpang. Jumlahnya luar biasa. Muncul pertanyaan dalam hati saya, kok bisa sebanyak itu? Apakah izin trayeknya memang sebanyak itu? Kadang-kadang kami agak sulit berkendara di jalan poros, karena tiba-tiba saja ada pete-pete yang berhenti sembarangan tanpa memberikan tanda. Saat begitu, terkadang lalu lintas menjadi sedikit macet.
Pete-pete memang fenomena menarik di Makassar, yang tentu menyerap banyak tenaga kerja bagi masyarakat. Saya yakin, bila pete-pete dihilangkan, keadaan Makassar akan kolaps. Karena pete-pete, memang salah satu penyangga kehidupan di daerah ini. Silahkan datang ke Makassar dan cobalah pete-pete.
0 komentar:
Posting Komentar